PARIWISATA Nusa Tenggara Barat, khususnya Lombok, bagaikan ”gadis manis” yang kian merampas perhatian orang. Setelah mengundang wisatawan memandang kecantikannya melalui panorama alam pantai, Lombok kini ”dirias wajah”-nya dengan model baru yang inovatif, wisata halal.

Itu menyusul dikukuhkannya Lombok sebagai World Best Halal Tourism Destination, dan World Best Halal Honeymoon Destination dalam ajang The World Halal Travel Summit/Exibition yang diumumkan di Uni Emirat Arab pada Februari 2015.

Gubernur NTB Zainul Majdi dalam diskusi Menakar Potensi Pariwisata dalam Rangka MEA di Hotel Santika Lombok, Mataram, awal Februari 2016, mengatakan, wisata halal memperkuat obyek wisata alam daerah itu.

Lebih dari itu menjadi pembeda dengan destinasi lain, pendorong semangat pelaku pariwisata menjadi lebih kreatif dan inovatif, terutama dalam merebut pangsa pasar baru menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang sangat kompetitif.

Pengamat pariwisata Prayitno Basuki, dosen Fakultas Ekonomi Universitas Mataram, melihat, pengakuan dunia itu mesti dibarengi kesiapan di Lombok.

Itu berupa regulasi, peningkatan kualitas infrastruktur dan fasilitas umum yang representatif, akomodasi dan restoran yang memenuhi syarat kehalalan, kesiapan pemandu wisata dan jasa transportasi wisata, serta upaya sosialisasi kepada masyarakat agar memiliki persepsi yang benar tentang halal tourism.

Dalam hal regulasi, Pemprov NTB memberlakukan peraturan gubernur (pergub) sebagai aturan main menggarap wisata halal bagi kabupaten/kota.

M Faozal, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata NTB, mengatakan, pergub NTB tak bicara sanksi, tetapi bersifat imbauan agar hotel dan restoran dilengkapi fasilitas ibadah, makanan dan minuman memenuhi syarat syariah.

Pergub itu akan ditingkatkan menjadi peraturan daerah meski DPRD NTB menolak membahas dalam rapat paripurna karena rancangan Perda Wisata itu diajukan melalui mekanisme, di antaranya harus didaftar dulu sebelum dibahas.

Malah Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) NTB Prof Saiful Muslim merasa tidak dilibatkan sejak pergub dibahas dan ditetapkan hingga menjadi perda.

”Sampai pergub ditandatangani, kami tak lihat ’barangnya’. Sekarang pergub itu mau ditingkatkan menjadi perda, kami pun tidak diundang membahasnya,” kata Saiful Muslim. Padahal, makanan dan hotel baru memenuhi syarat kehalalan berdasarkan rekomendasi MUI.

”Saya sampai geregetan karena belum ada langkah konkret mendukung branding halal itu. Apa konten pergub saya tidak tahu,” ujar Fauzi Gafar dari Humas Badan Promosi Pariwisata Daerah NTB dan Ketua Himpunan Pemandu Wisata Indonesia NTB berkaitan dengan sosialisasi wisata halal.

Dia mengaku berkepentingan untuk menyosialisasikan konten regulasi itu. Alasannya, banyak wisatawan Malaysia acapkali menanyakan asal-usul dan cara pengolahan makanan. Mereka membutuhkan pernyataan resmi agar nyaman mengonsumsi makanan yang bersertifikat halal.

”Karena ada halalnya, ya wisata halal yang dimaksud adalah makanannya memenuhi syarat kehalalan,” ujar Tuan Guru H Fachrudin dari Pondok Pesantren Subussalam, Desa Gerunung, Lombok Tengah.

Ia berinisiatif memberikan pemahaman terhadap pariwisata kepada jemaah pengajiannya. Wisatawan adalah tamu, sambutlah mereka dengan ramah dan bersahabat agar mereka nyaman berlibur di Lombok.

”Moslem frendly”

”Artinya, masyarakat dan pelaku wisata sudah punya pemahaman wisata ramah Muslim (moslem friendly),” ucap Awan Aswinabawa, A & T Holiday Tour and Travel, di Mataram.

Asas-asas syariah yang diterapkan itu misalnya sopir dalam perjalanan tur menghentikan kendaraan di masjid saat waktu shalat tiba, diminta ataupun tanpa diminta.

Hotel-hotel berbintang pun menyediakan fasilitas bagi wisatawan Muslim berupa mushala, kemudian kelengkapan di kamar hotel yang bentuknya bervariasi. Ada penunjuk arah kiblat atau ada penunjuk arah kiblat dan Al Quran.

”Fasilitas itu perlu ditambah dengan mukena, sajadah, dan keran wudu di kamar hotel meski untuk itu perlu waktu dan dana untuk melengkapi perangkat yang tersedia,” kata Awan Aswinabawa.

Selama tahun 2014-2015, MUI NTB mengeluarkan 145 sertifikat halal bagi restoran, rumah makan, serta produk makanan usaha kecil dan menengah yang ditangani Dinas Koperasi NTB.

Lalu 30 UKM yang ditangani Dinas Perindustrian dan Perdagangan NTB, dan 100 sertifikat halal diberikan kepada hotel, restoran, katering, dan rumah makan.

Tahun 2016 sertifikat halal diberikan kepada 150 UKM, dan 350 sertifikat halal untuk hotel, restoran, katering dan rumah makan.

Jumlah yang mendapat sertifikat halal itu baru sebagian kecil dibandingkan jumlah hotel dan restoran di NTB: tahun 2014 tercatat 941 hotel meliputi 50 hotel bintang satu hingga lima (3.072 kamar), dan 891 hotel nonbintang (9.015 kamar), serta 1.379 restoran/rumah makan.

Upaya yang ditempuh berikut beragam keluhan yang muncul semata ditujukan agar Lombok siap sebagai destinasi wisata halal, dan bukan sekadar jargon… (Khaerul Anwar)

Sumber: Kompas.com