Pencantuman label halal selama ini hanya diketahui terutama untuk produk makanan, minuman, bahan-bahan masakan, dan kosmetika. Wisata halal menjadi sesuatu hal baru yang diharapkan menjadi sebuah pembelaan dan pelurusan terhadap aktivitas pariwisata yang berketuhanan dan berkelanjutan.
Demikian hal itu disampaikan pengajar dan peneliti kepariwisataan Universitas Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat, Akhmad Fausi, dalam “Seminar Wisata Halal Dunia”, Kamis (17/3/2016), di Lombok.
“Wisata halal itu bukan menjual Islam melalui pariwisata, bukan pula menjual pariwisata melalui Islam. Wisata halal itu sebuah strategi untuk memosisikan produk pariwisata,” kata Akhmad.
Akhmad menguraikan ada enam ciri umum wisata halal, meliputi berketuhanan, bermoral, berdasar realitas, berkemanusiaan, tertib, dan komprehensif. “Wisata halal realistis, tidak menjual impian,” kata Akhmad.
Wisata halal yang berdasar realitas itu mencakup kontekstual. Ia mencontohkan, mendaki Gunung Rinjani di Lombok menjadi salah satu wisata yang paling menarik. Ketika ada wisatawan pendaki perempuan terjatuh, jika ada laki-laki yang bukan muhrim atau pasangan resminya membantu dalam wisata halal akan tetap diperbolehkan.
“Di situ ada alasan kemanusiaan sehingga meskipun di dalam wisata halal masih tetap harus dipertimbangkan hal-hal yang kontekstual,” kata Akhmad.
Seminar ini diselenggarakan harian Kompas bekerja sama dengan Kementerian Pariwisata dan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat. Hadir sebagai pembicara kunci Menteri Pariwisata Arief Yahya.
Gubernur Nusa Tenggara Barat Muhammad Zainul Majdi hadir dan turut memberikan sambutan.
Lima narasumber hadir di dalam diskusi yang dipandu Kepala Desk Nusantara Harian Kompas Banu Astono. Selain Akhmad Fausi, para narasumber lainnya ialah Sapta Nirwandar (Penasihat Kehormatan Menteri Pariwisata), Rifda Ammarina (CEO PT Puteri Cahaya Kharisma), Riyanto Sofyan (pemilik Hotel Sofyan), dan Ikhsan Abdullah (Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi Halal).
“Ini menjadi tantangan bersama untuk mewujudkan wisata halal di Lombok, mengingat sebagian besar pelaku pariwisata di Lombok itu non-Muslim,” kata Akhmad.
Sapta Nirwandar menjelaskan, perihal halal tidak hanya di dalam wisata halal saja, tetapi bisa menjadi gaya hidup. Wisata halal dengan demikian memiliki peluang besar untuk menunjang gaya hidup halal.
Ikhsan Abdullah memaparkan, konsep wisata halal menjadi tren baru pengembangan pariwisata yang sehat dan berkah dan bukan lagi semata urusan sebuah religi. Wisata halal mempersyaratkan suatu kejelasan yang dinilai halal di dalam sebuah proses dan pengelolaan suatu produk yang disajikan untuk memenuhi kebutuhan pariwisata.
Riyanto Sofyan memaparkan, wisata halal merupakan strategi pariwisata dengan peluang pasar besar yang belum tergarap optimal. Ia mendirikan Hotel Sofyan sejak tahun 1970 dan mengembangkan hotel tersebut berdasarkan syariah.
Riyanto Sofyan meraih penghargaan internasional World Halal Travel Award 2015 di Dubai, Uni Emirat Arab, untuk kategori The World’s Best Family Friendly Hotel. “Faktor kunci keberhasilannya adalah fokus, inovatif, dan memiliki branding,” kata Riyanto Sofyan.
Rifda Ammarina menjelaskan, potensi wisata halal didukung jumlah Muslin di dunia saat ini mencapai 1,6 miliar jiwa. Bukan hanya negara-negara yang didominasi Muslim yang telah mengembangkan wisata halal ini.
Rifda mencontohkan beberapa negara yang bukan dominasi Muslim, tetapi mengembangkan destinasi wisata halal, seperti Singapura, Afrika Selatan, Thailand, Inggris, dan Bosnia-Herzegovina.
Sumber: kompas.com